Total Tayangan Halaman

Senin, 13 Desember 2010

Bertuhan tapi Tak Beragama (teologi pengikut iblis)

Segala puji hanyalah milik Alloh Robb pemelihara alam semesta, dan tidak ada permusuhan melainkan hanya kepada orang-orang yang zhalim. Aku bersaksi bahwa tidak sesembahan yang haq untuk disembah kecuali hanya Alloh semata yang tiada sekutu bagi-Nya, Dialah sesembahan yang awal dan yang akhir, penegak langit-langit dan bumi-bumi. Dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kesayangan dan kepercayaan-Nya atas wahyu-Nya, yang diutus kepada seluruh manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan, yang menyeru kepada Alloh dengan izin-Nya dan pemberi pelita yang terang benderang. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada beliau, keluarga beliau dan para sahabat beliau yang meniti jalan beliau di dalam dakwah, yang sabar dan senantiasa berjihad di dalam dakwah hingga Alloh memenangkan bagi mereka agama-Nya, dan Alloh tinggikan kalimat-Nya walaupun orang-orang musyrik benci. Amma Ba’du :
Program cuci otak terus digulirkan orang-orang liberalis. Salah satu caranya adalah melakukan wawancara dengan orang-orang bingung agar masyarakat ‘ketularan’ bingungnya. Seperti termuat dalam situs JIL (http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=745) tanggal 10 Januari 2005 lalu, yang berisi wawancara antara pengibar bendera JIL, Ulil Abshar Abdalla dengan seorang sosiolog yang bingung dalam beragama. Dalam dialog itu, secara sadar dan blak-blakan si sosiolog berkata, “Saya tidak terlalu percaya pada agama. Yang saya percayai adalah Tuhan!”
Tentu, di situ dibumbui berbagai argumen kancil dan akal bulus untuk menguatkan pemahamannya. “Agama menurut saya adalah wahana menuju Tuhan. Jadi dia sarana saja”, demikian kilahnya. Artinya jika dia telah bertuhan maka tidak perlu memakai sarana, karena yang dituju telah didapatkan. Dia merasa bisa ber-Allah dengan benar tanpa harus menempuh cara yang telah digariskan Allah.
Bahkan menurut tokoh yang mengaku telah melanglang buana di ranah spiritualitas ini, “Agama itu muncul ketika spiritualitas menurun. Jadi, tepat ketika keimanan dan kedekatan manusia kepada Tuhan sudah melenceng ke mana-mana. Jadi agama itu diciptakan –saya tidak tahu, tepatnya diturunkan atau diciptakan— untuk memberi suatu wahana menuju spiritualitas itu tadi.”
Singkat kalimat, dia menganggap jika spiritualitas baik maka beragama menjadi tidak perlu.
Tetapi kalau kita cermati, memisahkan sesuatu yang menjadi satu kesatuan, seperti bertuhan dengan beragama, memang sudah menjadi ciri khas liberalis dan para pendukungnya.
Agama Iblis : Allah Yes! Islam No!
Telah diakui oleh J***a (nama sosiolog itu), bahwa agama adalah sarana menuju Allah. Sampai di sini, mungkin pernyataan ini bisa dibenarkan. Tetapi, mestinya pernyataan tersebut mengandung konsekuensi bahwa manusia tidak akan bisa sampai kepada Allah kecuali harus melewati jalur yang telah ditetapkan Allah. Karena Allah tidak mengijinkan manusia membuat cara (syari’at) tersendiri untuk beribadah kepada Allah.
“Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah.” (QS. asy-Syuura: 21)
Bagaimana cara ibadah J***a yang terang-terangan menyatakan “Saya memang Islam KTP” ini? Ia sendiri mengungkapkan, “Saya melakukan meditasi. Itu terus saya lakukan, dan yang pasti setiap pagi. Saya bangun jam lima pagi untuk melakukan meditasi dan doa sekitar setengah atau satu jam. “Perjumpaan” dengan Tuhan itu bagi saya anytime.”
Dia mengaku Allah menjadi sesembahannya, tapi siapa yang suruh dia beribadah kepada Allah dengan meditasi lalu meninggalkan shalat? Ini bukanlah cara yang telah ditetapkan Allah yang katanya dia sembah. Si sosiolog J***a mengaku mendapatkannya dari “Brahma Kumaris”, sebuah kelompok spiritual India. Maka benarlah firman Allah; “Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah.” (QS. asy-Syuura: 21)
Pengingkaran terhadap agama yang merupakan perintah Allah dan syari’at-Nya, meski disertai keyakinan dan pengakuan bahwa Allah Tuhannya adalah jalan beragamanya Iblis la’antullah ‘alaih. Dia percaya kepada Allah, bahkan memohon dan berdo’a kepada Allah:
Berkata iblis: “Ya Rabbku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan”. (QS. al-Hijr: 36)
Tetapi dia menolak perintah Allah untuk bersujud:
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS. al-Baqarah: 34)
Perhatikanlah wahai orang yang berakal, Iblis dikatakan kafir meskipun percaya kepada Allah. Sebabnya dia menolak perintah dan syari’at Allah. Apa bedanya dengan agama “tak beragama” yang dianut oleh J***a sang sosiolog itu? Meskipun dia percaya Allah sebagai Tuhannya, tetap saja dia dianggap kafir kepada Allah jika tidak tunduk dan menerima Islam sebagai agamanya.
Menegakkan Agama : Jalan Para Nabi
Berbeda dengan J***a si petualang spritualitas itu, para Nabi seluruhnya diperintahkan untuk menegakkan sendi-sendi syari’at dan agama Allah. Seperti yang difirman Allah:
Dia telah mensyariatkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS. asy-Syuura: 13)
Menjalankan agama bahkan merupakan satu-satunya aktivitas yang diperintahkan bagi manusia di muka bumi:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. al-Bayyinah: 5)
Bukan Hal Baru
Nash-nash suci dengan jelas menunjukkan kesesatan pemahaman J***a yang sengaja dipropagandakan orang-orang JIL. Jangan heran, memisahkan sesuatu yang menjadi kesatuan memang pekerjaan para liberalis sejak dulu. Sebelumnya mereka telah memisahkan antara agama dengan negara. Mereka juga memilah Islam menjadi isi dan kulitnya, lalu meninggalkan syari’at yang zhahir dengan alasan mengambil substansinya. Cara ini terus mereka tempuh untuk menggerogoti satu demi satu kesempurnaan dan keparipurnaan Islam. Wallahul-musta’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar